Skip to main content

Memahami dan Mengukur Diri

Suatu ketika saya melihat status teman saya. Ia memuji seorang ibu yang beranak 4 namun bisa menyelesaikan pendidikannya hingga S3 dan membuka klinik. Waah hebat sekali dia.

Saya yang baru saja beres memasak dll, belum nyuci, ditambah harus ditambah persiapan membawa anak untuk les bahasa arab rasanya langsung tak karuan. Sedih, merasa minder dan aaah apalah aku.  Yang cuman seminggu sekali les bahasa arab aja rasanya syukur alhamdulillah bisa terwujud..

Belum lagi ketika pulang les, PR mengangkat jemuran, nyetrika dan cuci baju sedang menunggu. Seketika mengingat pujian teman saya tadi keikhlasan saya sedikit terkikis..

"Ya Allah... Apakah yang kulakukan ini kurang bernilai ? Hanya berkutat di rumah, tak ada gelar tambahan,tak ada gaji dr keringat saya.."

" Ya Allah.. Apakah hanya wanita bergelar dan berbisnis saja yg disebut wanita hebat ?"

Saya pun makin merendah diri saat ingat cita cita ingin melanjutkan S2, punya bisnis dsb. Tapi melihat realita lapangan rasanya sulit sekali ke arah sana.

Kemudian saya merenung dan mengobati hati saya yang luka. Dan saya yakin teman saya memuji salah satu tokoh itu bukan untuk menyindir saya. Batin saya saling bercakap cakap

"Sebenarnya apa yang kamu cari tif ? Pujian orang..? Kebanggaan ? Harta ? Atau Ridho Allah.."

" Ridho Allah.."

"Trus klo ridho Allah kenapa kamu sedih ? Kan ngurus rumah juga dalam rangka ridho Allah ?

" iya tapi kan klo bisa berilmi tinggi dan dikontribusikan ke umat itu juga lebih bisa dapat ridho Allah.." batin saya bersahutan

" Oke.. Sekarang coba ukur diri kamu apakah kamu mampu menambah amanah lagi dalam rangka mencari ridho Allah itu "

Saya pun refleksi masa2 menyusun skripsi sambil momong anak, masya Allah luar biasa efeknya baik untuk saya maupun anak..

Belum lagi pekerjaan rumah dan mendidik anak. Dalan keadaan begini  saja, pekerjaan rumah keteteran, terkadang jika lelah anak saya hrus menerima nada tinggi dari saya, belum lagi membayangkan suami saya yg kerja dirumah tentu butuh kehadiran saya juga.

Jika saya banyak aktifitas di luar rumah apakah suami saya harus melayani dirinya sendiri layaknya masih bujangan ?

Walhasil saya pun mendapat kesimpulan. Saya belum mampu mengambil amanah baru, baik melanjutkan pendidikan formal maupun bisnis. Sepertinya belajar d lembaga informal lebih fleksibel untuk saya dan bisnis belum terlalu saya butuhkan. Berkontribusi untuk umat ? Saya sudah punya wadahnya.

Saya berusaha menerima kondisi dan menghibur diri bahwa tidak ada manusia sempurna. Pasti ada kekurangan. Tugas kita adalah berusaha menggapai ridho Allah dalam kekurangan tersebut.

Namun menerima kekurangan diri dan berlapang dada itu  berbeda dengan berpuas diri. Meski untuk saat ini saya memutuskan ' hanya' menjadi IRT dirumah, tentu saja saya hrus punya target kedepan untuk aktualisasi diri saya. Senantiasa belajar menunaikan amanah domestik dengan baik serta optimalisasi diri agar mampu menjangkau ladang pahala lebih banyak.

Dari sini saya belajar, mengukur diri adalah hal yang sangat penting dalam hidup kita.  Sebelum kita mengambil amanah baru, membuat keputusan hidup seperti menikah, lanjut studi dll.. Penting sekali untuk mengukur diri apakah saya sudah siap untuk melewati fase ini ? Apakah bekal ilmu saya cukup ? Apakah secara emosional saya sudah matang ? Dan masih banyak apakah apakah lainnya yang harus ditanyakan kepada diri sendiri .

Proses mengukur diri akan bisa menjadi rem tersendiri bagi kita, ketika kita dalam proses euforia maupun angan2 tinggi agar lebih rasional dalam memutuskan sesuatu. Bukan membatasi mimpi, tapi mengambil keputusan cerdas dalam setiap fase kehidupan kita.

Dari proses perenungan saya tentang kemampuan diri saya. Saya pun berusaha untuk tidak berendah diri dengan sosok ibu lulusan S3 yang dipuji teman saya tadi.

Saya membatin "Ya mungkin dia sudah pada tahap mampu merantau keluar negeri, menjadi ibu dan istri sekaligus mengejar s3 karena dia sudah melewati fase hidup luar biasa yang belum saya lewati.. Saya yang hari ini belum seperti dia,  insya Allah bisa seperti dia asalkan mau menikmati proses pembelajaran diri dalam setiap skenario hidup yang Allah berikan.."

Kata kata itulah yang menenangkan saya. Masih bermimpi lanjut studi formal ? Tentu saja. Tapi itu bukan menjadi goal utama tujuan saya dan tolak ukur kebahagiaan saya. Kalaupun someday saya diizinkan oleh Allah untuk mengabdi ke umat lewat bidang keilmuan saya di jalur formal, Alhamdulillah semoga Allah mampukan saya mengembannya. Tapi jika tidak,  ya tidak masalah, yang penting Allah izinkan saya untuk menjadi sosok yang bermanfaat untuk umat kemanapun Allah melempar saya.

Dan satu lagi, orang yang punya amanah banyak belum tentu lebih banyak pahalanya. Tapi yang lebih aman dari azab Allah tentu yang lebih amanah dg tanggung jawab yg sudah diberikan kepadanya..

Ya jadi pelajaran yang saya ambil, tidak usah terlalu baperan dengan mildstone orang lain. Ambil ibrah, selalu refleksi diri  dan maju kedepan dengan kepala tegak dan percaya diri. Karena hidup terlalu berharga jika hanya digunakan untuk menggalau, pergunakan waktu kita dengan mengoptimalkan ladang pahala yang Allah berikan pada kita. Jangan berandai sukses dengan amanah besar jika amanah kecil saja sulit untuk kita tuntaskan.

Yuk ah ummu semangaat mengemban amanah yaa.. Semoga Allah mudahkan hati dan langkah kita yaa. Aamin ya rabbal alamiin.

Comments

Popular posts from this blog

Growth Mindset in Motherhood

Berjibaku dalam dunia rumah tangga, relasi suami istri, menjadi orang tua emang gak mudah. Banyak banget tantangan yang harus di hadapi. Rasanya setiap minggu bahkan setiap hari ada saja masalah baru yang datang. Yang kadang kalo terus ditumpuk ternyata lama-lama bisa menimbulkan pola pikir destruktif di otak kita.  Misal kita berkali-kali mencoba resep MPASI tapi berkali kali pula di tolak dan dilepet kembali oleh anak.  Kalau kita punya pikiran destruktif, kita bisa aja berfikir “ aduh ni kayaknya aku ga  bakat masak nihh.. makanannya ditolak terus “. Atau bisa juga kita langsung ngejudge, “ wah ni anak pilih pilih makan nih kayak bapaknya, ya udahlah seadanya aja”.  Dan akhirnya kita pun meyerah dan memberikan makan sesuai ‘selera’ anak bukan kebutuhannya Nah pola pikir mirip sepert ini, yang cenderung menyerah dengan kondisi, menjudge diri/kondisi terlalu dini, dan merasa bahwa keadaan ataupun segala sesuatu itu sudah baku alias ga bisa diubah ini bahaya banget karena membuat kit

Belajar dari Ibu Hebat

Belajar dari ibu ibu hebat.  Jadi ceritanya sebulan lalu ummi galau mau lanjutin belajar di ma'had atau enggak. Karena luar biasa capek pulangnya dan ditunggu dg amanah domestik lain dirumah. Ditambah lagi khalid anaknya 'seperti' kurang sosialisasi, jadi ummi bertekad kalo berhenti mau full ngelatih potensi dan sosioemosional khalid.. Menjelang masuk pun masih galau. Lanjut gak yaa.. Ya udahlah beli kitab dulu aja. Bahkan sampai pagi sebelum brangkat dauroh awal pun masih galau. Bismillah berangkat aja.  Tapi masya Allah.. Allah tuh kayak nabok bolak balik. Waktu dauroh.  Khalid yang biasanya betah 2 jam lebih nongkrong dipangkuan ummi dan g mau main sama org lain, tiba tiba dia mau main dengan anak lain. Bahkan g mau pulang.. Begitu juga untuk dauroh hari kedua Trus.. Aku ngeliat ibu ibu lain yang struggle anaknya nangkel, bahkan ada yang jatohin kipas angin deket ustadz..wkwk. Ya santai broh emaknya. Ngeladenin anaknya main kuda kudaan sambil liat kitab. Masya Allah..