Skip to main content

Growth Mindset in Motherhood

Berjibaku dalam dunia rumah tangga, relasi suami istri, menjadi orang tua emang gak mudah. Banyak banget tantangan yang harus di hadapi. Rasanya setiap minggu bahkan setiap hari ada saja masalah baru yang datang. Yang kadang kalo terus ditumpuk ternyata lama-lama bisa menimbulkan pola pikir destruktif di otak kita. 

Misal kita berkali-kali mencoba resep MPASI tapi berkali kali pula di tolak dan dilepet kembali oleh anak.  Kalau kita punya pikiran destruktif, kita bisa aja berfikir “ aduh ni kayaknya aku ga  bakat masak nihh.. makanannya ditolak terus “. Atau bisa juga kita langsung ngejudge, “ wah ni anak pilih pilih makan nih kayak bapaknya, ya udahlah seadanya aja”.  Dan akhirnya kita pun meyerah dan memberikan makan sesuai ‘selera’ anak bukan kebutuhannya

Nah pola pikir mirip sepert ini, yang cenderung menyerah dengan kondisi, menjudge diri/kondisi terlalu dini, dan merasa bahwa keadaan ataupun segala sesuatu itu sudah baku alias ga bisa diubah ini bahaya banget karena membuat kita jadi ga berkembang dan fokus sama keadaan bukan solusi. Pola pikir seperti inilah yang disebut sebagai Fixed mindset atau pola pikir baku. Jadi fixed mindset ini menganggap bahwa segala sesuatu dalam diri kita itu udah final dan gak bisa diubah.

Sering gak, secara gak sadar kita suka nyeletuk gini

1.       Ya ampun aku ceroboh banget sii jadi ibu

2.       Aku mah ga cocok masak, ga enak terus

3.       Aku emang gak pinter itu dari sananya

4.       Iih da aku mah apa atu..

5.       Suamiku mah emang bebal , susah dikasih tau diajak diskusi

6.       Anakku mah susah anteng, dari sananya gitu

Dann masih banyak lagi statement serupa yang ternyata kalo ditelisik , rada nyerempet nih ke fixed mindset. Padahal dalam berumah tangga dan menjadi orang tua, punya fixed mindset ni bahaya banget. Karena kita akan cenderung mudah menjudge orang/situasi, ,menyalahkan kondisi, dan pesimis menghadapi masalah.  Menyadara realitas yang ada, menerima kekurangan diri, sadar akan ketidak idealan itu penting banget. Tapi kalo ternyata sadar realitas itu disertai dengan judgment bahwa semuanya susah diubah, ini semua sudah bawaan dari lahir, semuanya sudah final dan terpentok kondisi, naah ini bahaya banget.  Nah jadi apa dong solusi buat kita yang seringkali memandang sesuati pake kacamata fixed mindset. Jawabannya adalah Growth mindset. Yaitu pola pikir berkembang. Jadi memandang pengetahuan, kepribadian, bakat itu bukanlah hal final. Tapi bisa diupgrade dan dikembangkan.

Misal kita menghadapi realitas anak kita susah diatur, maunya ngebangkang, kurang adab dsb. Ibu yang ppunya growth mindset gak akan mudah menjudge anak ini nakal dan bakalan bebal sampai dewasa. Tapi justru malah merasa semangat dalam mencari ilmu parenting, karena yakin perilaku anak ini belum final dan pasti bisa diubah seiring dengan treatment yang disertai ilmu.

Atau misalnya seorang ibu yang berkali kali gagal mengelola emosi dan marah dengan cara yang tidak tepat. Bagi yang memiliki fixed mindset dia akan menjudge ke dirinya sendiri bahwa dia ibu yang gagal, ibu yang kasar, orang yang tidak pantas jadi ibu. Atau bisa jadi pasrah dan mencari pembenaran. “yaa aku mah bawaan dari keluarga aku emang gini, temperamental jadi susah diubah”.

Tapi hal ini gak berlaku untuk yang memiliki growth mindset, buat mereka, pengelolaan emosi itu bisa dilatih dan kecerdasan emosi hari ini itu gak final dan bisa dikembangkan. Ibu dengan growth mindset akan berusaha memaafkan dirinya sendiri dan bertekad untuk kembali belajar mengelola emosinya dengan berbagai cara dan menyemangati dirinya sendiri. Meskipun mungkin kedepannya ia gagal lagi dalam mengelola amarahnya, ia akan tetap semangat belajar dan mencoba melatih emosinya dikemudian hari tanpa ada judgement negatif terhadap dirinya sendiri.

Nah ada tips dari aku untuk memberikan sugesti positif ala growth mindset ketika kita dihadaplan hambatan atau tantangan dalam masalah apapun. Yaitu mengubah kata 'tapi' menjadi 'walaupun''.

Misal 

contoh 1:

- Aku tuh pengen anakku BBnya naik, tapi dia susah banget makan

jadi ...

-Walaupun anakku susah makan, aku akan tetap bisa buat anakku BBnya naik (biidznillah). 

contoh 2:

-Aku tuh ingin anakku bisa jadi hafidz quran , tapi boro-boro aku sendiri ngaji aja belum lancar

ubah menjadi ..

- Walaupun aku sendiri ngajinya belum lancar, Insya Allah anakku akan tetap bisa jadi haifidz quran

contoh 3 

- Aku tuh pengen anakku jadi anak yang shalih, beradab, terjaga pergaulannya, tapi lingkungan kami kurang kondusif

ubah menjadi

- Walaupun lingkungan kami kurang kondusif, Insya Allah aku tetap bisa membuat anakku menjadi shalih, beradab dan terjaga pergaulannya


Nah dengan penambahan kata walaupun ini, akan membuat suasana pikiran kita lebih positif dan optimis dalam menghadapi berbagai tantangan. Jangan lupa juga setelah mengubah statement menjadi lebih positif, dibarengi juga dengan menambahkan pertanyaan " What should I do ?" Sehingga statement tadi bukan sekedar penyemangat tapi juga sebagai upaya pencarian solusi. Misal di contoh kedua, tambahkan pertanyaan " Apa yang harus aku lakukan supaya anakku jadi hafidz meski ngajiku masih pas-pasan ?" Jawabnya misal upgrade ngaji diri sendiri, luangkan waktu hafalan, carikan guru,ikutkan lembaga tahfidz, dsb.

Emang gak mudah ya menginstall growth mindset dalam otak kita. Tapi Insya Allah dengan niat yang ikhlas, kesadaran bahwa Allah mencintai hambanya yang memperbaiki diri, serta ikhtiar kita agar seluruh amal bernilai ibadah. Maka memiliki growth mindset ini akan bisa kita kita lakukan. Insya Allah.. Barakallahu fiikum

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Belajar dari Ibu Hebat

Belajar dari ibu ibu hebat.  Jadi ceritanya sebulan lalu ummi galau mau lanjutin belajar di ma'had atau enggak. Karena luar biasa capek pulangnya dan ditunggu dg amanah domestik lain dirumah. Ditambah lagi khalid anaknya 'seperti' kurang sosialisasi, jadi ummi bertekad kalo berhenti mau full ngelatih potensi dan sosioemosional khalid.. Menjelang masuk pun masih galau. Lanjut gak yaa.. Ya udahlah beli kitab dulu aja. Bahkan sampai pagi sebelum brangkat dauroh awal pun masih galau. Bismillah berangkat aja.  Tapi masya Allah.. Allah tuh kayak nabok bolak balik. Waktu dauroh.  Khalid yang biasanya betah 2 jam lebih nongkrong dipangkuan ummi dan g mau main sama org lain, tiba tiba dia mau main dengan anak lain. Bahkan g mau pulang.. Begitu juga untuk dauroh hari kedua Trus.. Aku ngeliat ibu ibu lain yang struggle anaknya nangkel, bahkan ada yang jatohin kipas angin deket ustadz..wkwk. Ya santai broh emaknya. Ngeladenin anaknya main kuda kudaan sambil liat kitab. Masya Allah..

Memahami dan Mengukur Diri

Suatu ketika saya melihat status teman saya. Ia memuji seorang ibu yang beranak 4 namun bisa menyelesaikan pendidikannya hingga S3 dan membuka klinik. Waah hebat sekali dia . Saya yang baru saja beres memasak dll, belum nyuci, ditambah harus ditambah persiapan membawa anak untuk les bahasa arab rasanya langsung tak karuan . Sedih, merasa minder dan aaah apalah aku .  Yang cuman seminggu sekali les bahasa arab aja rasanya syukur alhamdulillah bisa terwujud.. Belum lagi ketika pulang les, PR mengangkat jemuran, nyetrika dan cuci baju sedang menunggu. Seketika mengingat pujian teman saya tadi keikhlasan saya sedikit terkikis.. "Ya Allah... Apakah yang kulakukan ini kurang bernilai ? Hanya berkutat di rumah, tak ada gelar tambahan,tak ada gaji dr keringat saya.." " Ya Allah.. Apakah hanya wanita bergelar dan berbisnis saja yg disebut wanita hebat ?" Saya pun makin merendah diri saat ingat cita cita ingin melanjutkan S2, punya bisnis dsb. Tapi melihat realita l