Skip to main content

Apresiasi Diri

Minggu lalu saya di tag oleh seorang sahabat di IG storynya. Isinya berisi tentang 'pujian' mengenai saya. Ya, saya yang sudah tumbuh dg cara saya sendiri (thanks so much dear FIR). Mungkin sepele, tapi setelah membaca storynya ibarat bunga layu tiba tiba saya menjadi bunga mekar dan sangat bahagia hingga berkaca kaca

Jujur saya bertanya tanya dalam diri kenapa saya begitu bahagia hanya karena di tag oleh seorang sahabat ? Saya merenung.

Oke I got it.. Baru saja saya diapresiasi oleh orang lain.

Ya Allah.. Ternyata inilah yang selama ini saya cari. Obat dari segala ketidak ikhlasan diri, obat dari keputus asaan dan kejenuhan saya.

Ya apresiasi. 

Rasanya saya ingin meminta maaf kepada diri saya karena selama ini saya jarang sekali mengapresiasi diri hingga memendam rasa sedih dan marah yang sangat tidak sehat untuk hati dan pikiran saya

Jujur mengapresiasi diri atas hal /perubahan kecil yang kita lakukan itu g mudah apalagi kita tipe perfeksionis. Ditambah lingkungan kita yang kurang apresiatif dan menuntut ini itu. Saya akui menikah itu benar benar ujian mental yang jauh lebih dahsyat dibanding saat di asrama atau kuliah dulu.

Ketika SMA, saya hidup dengan teman dan guru guru yang sangat mengapresiasi sekecil apapun perubahan dan prestasi yang kita buat. Begitupun saat kuliah, saya hidup dg orang orang yang begitu mengayomi,membimbing dan mengapresiasi apa yang saya buat.

Hanya saja begitu menikah.. Orang yang ada disekitar kita tentu tidak bisa kita pilih sebagaimana dulu. Minimnya apresiasi, ditambah pressure dan ekspektasi banyak orang jujur itu menghancurkan sedikit demi sedikit mental saya.

Saya akui kepercayaan diri saya menurun 40 %. Saya tidak berani bermimpi tinggi sebagaimana dulu. Saya malu memiliki pendapat sendiri. Bahkan saya malu dengan penampilan saya padahal dulu saya sangat percaya bahwa ilmu dan cara berfikir yang cerdas itu lebih membanggakan dibanding penampilan.

Oke kembali lagi pada apresiasi diri. Mungkin tidak 100 % obat dari jatuhnya mental saya ini adalah apresiasi diri. Tapi saya merasa ketika saya mencoba memahami diri saya sendiri. Mencoba menghargai apa yang sejauh ini saya lakukan dan korbankan. Saya merasa jiwa saya bangkit. Saya merasa rundungan putus asa dan kesedihan itu cukup berkurang.

Memang saya tidak bisa menyetir orang lain untuk menghargai apa yang saya buat. Atau memuji apa yang sudah saya kerjakan.. Tapi saya bisa menyetir diri saya untuk menghargai potensi dalam diri saya, memuji bahwa "kamu bisa melakukan hal ini dengan baik", memuji diri bahwa saya bisa belajar hingga sejauh ini.

Jika bukan kita yang menghargai diri sendiri siapa lagi ? Jika bukan kita yang mencintai diri sendiri siapa lagi ? Tentu saya juga tidak ingin membesarkan anak dengan jiwa yang kering dan sakit. Oleh karena itu saya harus belajar untuk bahagia dimulai dari mencintai dan menghargai diri sendiri.

Saya rasa hal ini penting untuk saya tulis karena saya menduga banyak ibu/istri diluar sana yang mungkin merasakan hal ini setelah menikah. Lingkungan kompetitif,cibiran sana sini, suami jarang memuji, kurang dihargai sekitar inilah yang berpotensi menimbulkan emosi terpendam dan berefek negatif bagi mental sang ibu.

Semoga tulisan ini sedikit membantu.

Tapi percayalah bu.. Apapun dirimu. Bagaimana komentar orang lain tentang anakmu dan rumahmu. Kamu adalah orang hebat yang Allah siapkan untuk keluargamu. Sayangi dirimu wahai ibu..


Comments

Popular posts from this blog

Growth Mindset in Motherhood

Berjibaku dalam dunia rumah tangga, relasi suami istri, menjadi orang tua emang gak mudah. Banyak banget tantangan yang harus di hadapi. Rasanya setiap minggu bahkan setiap hari ada saja masalah baru yang datang. Yang kadang kalo terus ditumpuk ternyata lama-lama bisa menimbulkan pola pikir destruktif di otak kita.  Misal kita berkali-kali mencoba resep MPASI tapi berkali kali pula di tolak dan dilepet kembali oleh anak.  Kalau kita punya pikiran destruktif, kita bisa aja berfikir “ aduh ni kayaknya aku ga  bakat masak nihh.. makanannya ditolak terus “. Atau bisa juga kita langsung ngejudge, “ wah ni anak pilih pilih makan nih kayak bapaknya, ya udahlah seadanya aja”.  Dan akhirnya kita pun meyerah dan memberikan makan sesuai ‘selera’ anak bukan kebutuhannya Nah pola pikir mirip sepert ini, yang cenderung menyerah dengan kondisi, menjudge diri/kondisi terlalu dini, dan merasa bahwa keadaan ataupun segala sesuatu itu sudah baku alias ga bisa diubah ini bahaya banget karena membuat kit

Belajar dari Ibu Hebat

Belajar dari ibu ibu hebat.  Jadi ceritanya sebulan lalu ummi galau mau lanjutin belajar di ma'had atau enggak. Karena luar biasa capek pulangnya dan ditunggu dg amanah domestik lain dirumah. Ditambah lagi khalid anaknya 'seperti' kurang sosialisasi, jadi ummi bertekad kalo berhenti mau full ngelatih potensi dan sosioemosional khalid.. Menjelang masuk pun masih galau. Lanjut gak yaa.. Ya udahlah beli kitab dulu aja. Bahkan sampai pagi sebelum brangkat dauroh awal pun masih galau. Bismillah berangkat aja.  Tapi masya Allah.. Allah tuh kayak nabok bolak balik. Waktu dauroh.  Khalid yang biasanya betah 2 jam lebih nongkrong dipangkuan ummi dan g mau main sama org lain, tiba tiba dia mau main dengan anak lain. Bahkan g mau pulang.. Begitu juga untuk dauroh hari kedua Trus.. Aku ngeliat ibu ibu lain yang struggle anaknya nangkel, bahkan ada yang jatohin kipas angin deket ustadz..wkwk. Ya santai broh emaknya. Ngeladenin anaknya main kuda kudaan sambil liat kitab. Masya Allah..

Memahami dan Mengukur Diri

Suatu ketika saya melihat status teman saya. Ia memuji seorang ibu yang beranak 4 namun bisa menyelesaikan pendidikannya hingga S3 dan membuka klinik. Waah hebat sekali dia . Saya yang baru saja beres memasak dll, belum nyuci, ditambah harus ditambah persiapan membawa anak untuk les bahasa arab rasanya langsung tak karuan . Sedih, merasa minder dan aaah apalah aku .  Yang cuman seminggu sekali les bahasa arab aja rasanya syukur alhamdulillah bisa terwujud.. Belum lagi ketika pulang les, PR mengangkat jemuran, nyetrika dan cuci baju sedang menunggu. Seketika mengingat pujian teman saya tadi keikhlasan saya sedikit terkikis.. "Ya Allah... Apakah yang kulakukan ini kurang bernilai ? Hanya berkutat di rumah, tak ada gelar tambahan,tak ada gaji dr keringat saya.." " Ya Allah.. Apakah hanya wanita bergelar dan berbisnis saja yg disebut wanita hebat ?" Saya pun makin merendah diri saat ingat cita cita ingin melanjutkan S2, punya bisnis dsb. Tapi melihat realita l