Skip to main content

Seandainya

Seandainya para ibu tau betapa beratnya hisab seorang ibu diakhirat kelak, tentu untuk menitipkan anaknya barang sekali saja rasanya ia akan berfikir dua kali. Membentak dan menghardik anak membuatnya bergetar takut dihadapan Allah. Serta harinya tak lepas dari mencari ilmu demi mampu mendidik anaknya menjadi anak yang shalih.
Bagaimana tidak ? Di akhirat kelas setiap dari ibu akan ditanyai dengan detail bagaimana ia merawat dan mengasuh anaknya. Bagaimana ia mendidiknya serta membinanya hingga dewasa. Apakah ia sudah melakukan kewajibannya sebagai ibu atau justru malah orang lain yang melakukan.

Seandainya para istri tau betapa beratnya pertanggung jawaban seorang istri dihadapan kelak. Tentu ia akan berhati hati menjaga harta suami serta bersyukur dengan pemberian suami. Ia berusaha menyiapkan pelayanan terbaik untuk suami, melemah lembutkan tutur kata, membuat rumah selalu nyaman serta taat pada perintah suami

Sebab ia tau begitu banyak wanita masuk neraka karena tak memperoleh ridho suami serta kufur dengan kebaikan suaminya
Jika para wanita tau betapa beratnya menyadang gelar ibu dan istri tentu ia enggan terburu hawa nafsu dan provokasi tak mendidik untuk segera menikah. Mereka akan sibuk menyiapkan diri menjadi sang Ummun wa Rabbatul bait, menuntut ilmu dengan giat serta berlatih mengurus rumah tangga.

Sebab ia tau menikah bukan soal kenikmatan saja, melainkan amanah yang akan dimintai pertanggung jawabannya.
Sebenarnya kita sang ibu dan istri sudah tau akan itu semua, hanya saja gemerlap dunia serta ambisi hedonislah yang menggelapkan mata para ibu dan istri hingga akhirnya lupa dengan amanah yang dibebankan pada Menyepelekan hisab akhirat, dan akhirnya tak menunaikan kewajiban kita.
Ya Allah mampukanlah kami menunaikan amanah dan kewajiban kami. Cukupkanlah ilmu kamii.
Dan ganjarkanlah pahala yang luas tak terbatas atas peluh dan kesabaran kami

Comments

Popular posts from this blog

Growth Mindset in Motherhood

Berjibaku dalam dunia rumah tangga, relasi suami istri, menjadi orang tua emang gak mudah. Banyak banget tantangan yang harus di hadapi. Rasanya setiap minggu bahkan setiap hari ada saja masalah baru yang datang. Yang kadang kalo terus ditumpuk ternyata lama-lama bisa menimbulkan pola pikir destruktif di otak kita.  Misal kita berkali-kali mencoba resep MPASI tapi berkali kali pula di tolak dan dilepet kembali oleh anak.  Kalau kita punya pikiran destruktif, kita bisa aja berfikir “ aduh ni kayaknya aku ga  bakat masak nihh.. makanannya ditolak terus “. Atau bisa juga kita langsung ngejudge, “ wah ni anak pilih pilih makan nih kayak bapaknya, ya udahlah seadanya aja”.  Dan akhirnya kita pun meyerah dan memberikan makan sesuai ‘selera’ anak bukan kebutuhannya Nah pola pikir mirip sepert ini, yang cenderung menyerah dengan kondisi, menjudge diri/kondisi terlalu dini, dan merasa bahwa keadaan ataupun segala sesuatu itu sudah baku alias ga bisa diubah ini bahaya banget...

Belajar dari Ibu Hebat

Belajar dari ibu ibu hebat.  Jadi ceritanya sebulan lalu ummi galau mau lanjutin belajar di ma'had atau enggak. Karena luar biasa capek pulangnya dan ditunggu dg amanah domestik lain dirumah. Ditambah lagi khalid anaknya 'seperti' kurang sosialisasi, jadi ummi bertekad kalo berhenti mau full ngelatih potensi dan sosioemosional khalid.. Menjelang masuk pun masih galau. Lanjut gak yaa.. Ya udahlah beli kitab dulu aja. Bahkan sampai pagi sebelum brangkat dauroh awal pun masih galau. Bismillah berangkat aja.  Tapi masya Allah.. Allah tuh kayak nabok bolak balik. Waktu dauroh.  Khalid yang biasanya betah 2 jam lebih nongkrong dipangkuan ummi dan g mau main sama org lain, tiba tiba dia mau main dengan anak lain. Bahkan g mau pulang.. Begitu juga untuk dauroh hari kedua Trus.. Aku ngeliat ibu ibu lain yang struggle anaknya nangkel, bahkan ada yang jatohin kipas angin deket ustadz..wkwk. Ya santai broh emaknya. Ngeladenin anaknya main kuda kudaan sambil liat kitab. Masya Allah.. ...

Kala Ibu Gak Dapat Jatah

Sebetulnya kadang ya mak, kita tuh gak muluk- muluk dah . Pengen gitu sehari dua hari aja bener-bener  libur bur bur ngerjain ini itu dirumah, anak anak di handle suami dulu, kita bisa rehat sejenak. Karena kalo kelamaan liburnya juga kadang malah leneng juga yak, asa bosen jadinya. Gak ada  rutinitas, aneh gitu biasanya sibuk pagi-pagi , lha ini kok enggak. Kangen masakin suami, nyuapin anak, main bareng anak.  Kalo liburan yang mahal-mahal ya kadang kepikiran sayang duitnya juga kan bu ? mending dipake yang lain wkwkw. Atau jalan jalan hebring gimana  gitu , eh tapi malah cape dijalan karena buntut-buntut biasanya ikutan ganas.   Nah nanti klo udah libur tuh barang sehari dua hari, baru deh besoknya berasa energi ke cas dan semangat buat 5-6 hari kedepan menjalani rutinitas yang sama. Cuman ya kenyataannya tak seindah khayalan yak. Ga semua keluarga punya support system buat itu. Ada yang mertua/ortunya bisa diandalkan, ada juga yang boro2 diandalkan jara...